Kwarta5.Com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda).
Pasal itu memuat ketentuan pemeriksaan dan penyidikan terhadap pejabat negara yang melakukan tindak kejahatan harus menggunakan izin.
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat," ujar Ketua MK, Mahfud MD, membacakan amar putusan dalam sidang di Gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (26/9).
Oleh karena itu, proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah yang melakukan tindak pidana kejahatan dapat dijalankan tanpa harus mendapat izin secara tertulis dari presiden.
Sedangkan untuk Pasal 36 ayat (3), MK menyatakan konstitusional bersyarat. Artinya, jika penyidikan berlanjut pada penahanan harus mendapatkan izin tertulis dari presiden.
"Pasal 36 ayat (3) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden dan apabila persetujuan tertulis dimaksud tidak diberikan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan maka proses penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan dapat langsung dilakukan'," kata Mahfud.
Tetapi, MK menyatakan izin itu tidak berlaku jika terdapat beberapa pengecualian, seperti kepala daerah yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan atau disangka melakukan kejahatan yang diancam hukuman mati dan kejahatan yang mengancam keamanan negara. Hal itu merupakan putusan terkait Pasal 36 ayat (4).
Terkait putusan ini, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menyatakan, keberadaan izin Presiden dalam penyelidikan dan penyidikan tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup.
"Dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan," kata dia.
Lebih lanjut, kata Akil, proses penyelidikan dan penyidikan tidak perlu menggunakan izin Presiden.
"Karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya," kata dia.
Permohonan ini diajukan oleh pemohon antara lain, Feri Amsari, Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Pemohon mendalilkan, berlakunya pasal ini telah menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi kepala daerah yang sedang menjalani proses peradilan atas tindak pidana kejahatan umum.(Cw/Merdeka.com)