Kwarta5.com Tanjungpinang,-Beberapa wartawan dari berbagai media ikut merespon soal sikap Wali Kota Tanjungpinang kepada sejumlah pimpinan perusahaan media. Pernyataan Rahma S.IP, Senin (14/6/21) lalu, terkesan sebagai sikap yang arogansi.
Kronologi dalam pemberitaan yang dipublikasikan oleh salah satu media lokal menjadi perbincangan oleh awak media di salah satu kedai kopi yang berada di sekitar RS RAT Provinsi Kepri, Senin (21/06/21).
Setidaknya ada 3 (tiga) hal yang disorot oleh Yusdianto atas sikap Wali Kota itu. Ketua LSM Gempita (Generasi Muda Peduli Tanah Air) DPW Provinsi Kepri menyesalkan pernyataan dan sikap tersebut, hal itu dinilainya tidak profesional.
Pertama, menurut Yanto (sapaan akrab), pernyataan Wali Kota yang memutuskan untuk tidak membayarkan kegiatan publikasi karena merasa kinerjanya selalu disudutkan.
Cara itu, menurut Yanto ,menunjukan bahwa Wali Kota tidak memahami cara media bekerja. Baginya media bekerja sesuai etika pers, jika dinilai tidak berimbang, silakan mengajukan keberatan.
"Ada aturan main jika Wali Kota merasa dirugikan, gunakan hak jawab, hak koreksi atau hak klarifikasi. Jangan ujuk ujuk mengaku disudutkan," kata Yanto yang juga kepala perwakilan media on line provinsi kepri.
Lagi pula, masih menurut Yanto, jika media terkait tidak mendapatkan hak yang dimaksud, boleh mengajukan keberatan ke Dewan Pers. Begitu juga soal yang berkaitan hukum, ada jalurnya.
"Semua ada mekanismenya, jangan menuding kinerja media sebagai alasan. Patut diduga bahwa alasan itu hanya alibi karena dana publikasi itu tidak ada lagi, jadi cari alasan karena tidak terakomodir," ucapnya.
Kedua, soal koordinasi dengan Dinas Kominfo Tanjungpinang, yang meminta agar media memperbaiki kinerja dalam memberikan kritikan di tulisan menjadi pertanyaan. Ia menilai bahwa itu bentuk ancaman kepada media yang kerap memberi kritik.
"Jadi media tidak dapat mengkritik kinerja Pemko Tanjungpinang lagi karena ada konsekuensi, yakni seluruh biaya kerjasama tidak dibayarkan. Kan ini bisa diartikan sebuah ancaman," terangnya.
Sementara pernyataan Wali Kota soal, "kalian punya media saya punya anggaran," bagi Yanto tidak sesederhana itu untuk diartikan. Pernyataan ini dinilai bahwa ada hak untuk menentukan media yang layak untuk bekerjasama.
"Jadi intinya, terima atau tidak terima, kalau mau bekerjasama harus sesuai selera Wali Kota. Tolak ukur kasarnya, saya punya uang, kalian mau apa," ucap Yanto yang juga kepala perwakilan salah satu media on line ini mengilustrasikan makna kearoganan dimaksud.
Sementara perkataan Wali Kota yang merasa tidak pernah mengundang para pimpinan media untuk datang ke rumah dinas dinilai lucu. Menurut yanto pria kelahiran inhil ini, kehadiran para awak media itu tentu ada yang menginisiator.
"Paling tidak ada yang memberikan akses untuk bersilaturahmi dengan Wali Kota. Tidak mungkin lancang, hadir tanpa undangan," ucap wartawan senior itu.
Selain itu, saya sangat menyesalkan soal tindakan Rahma yang memerintahkan anak buahnya untuk mengambil seluruh ponsel awak media ditengah pertemuan tersebut.
"Cara ibu Wali Kota itu tidak menunjukan sikap seorang pemimpin. Kalau takut kata katanya dikutip, bisa minta off the record kok," ujarnya seraya menyesalkan sikap tersebut.
Di tempat terpisah, menyikapi soal pengakuan Wali Kota yang mempunyai beberapa informan yang selalu siap memberikan informasi di lingkaran awak media, dinilai serius oleh Partogi (Ogi Jenggot).
Menurut pimpinan media online itu, pernyataan Wali Kota tersebut tidak dapat diterima. Pasalnya, mendapake publik. Ia menilai cara menempatkan "mata-mata" tidak bijak, dan lebih terkesan untuk menekan ruang gerak jurnalistik.
"Tindakan kepala daerah seperti ini tidak fear. Karena nantinya akan mengarah pada pengkotak kotakan media," terang Ogi Jenggot yang dikenal vokal ini.
Mantan aktivis 98 itupun berpendapat bahwa "mata-mata" yang dimaksudkan, merupakan duri dalam daging. Bahkan ia menuding kepada pihak tersebut.
**