Kwarta5.com Jakarta, - Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan kesiapannya hadir dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR soal transaksi mencurigakan di Kemenkeu senilai Rp 349 triliun. Mahfud menyebut raker itu menjadi kesempatan baginya untuk menguji logika dengan DPR terkait transaksi janggal di Kemenkeu tersebut.Mahfud MD. Foto: Ist
“Nanti kan hari Rabu (29 Maret 2023), saya diundang ke sana (DPR),” ujar Mahfud usai mengikuti acara Tadarus Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Sabtu (25/3/2023).
Selain uji logika, kata Mahfud, raker dengan Komisi III DPR tersebut menjadi kesempatan menguji kesetaraan pemerintah dengan DPR yang sebelumnya telah mencecar kapala PPATK. Mahfud menekankan pemerintah bukan bawahan DPR.
“Uji logika dan uji kesetaraan juga, jangan dibilang pemerintah itu bawahan DPR. Bukan,” tegas Mahfud.
Bahkan, Mahfud meminta anggota DPR yang berbicara keras saat raker dengan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, harus hadir di raker dengan dirinya pada Rabu (29/3) mendatang. Menurut dia, hal tersebut penting agar penjelasan mengenai transaksi tersebut menjadi berimbang.
"Pokoknya Rabu saya datang, kemarin yang ngomong-ngomong agak keras itu supaya datang juga. Biar imbang," pungkas Mahfud.
Diketahui, Komisi III DPR akan memanggil Menko Polhukam Mahfud MD dan Menteri Keuangan Sri Mulyani serta Kepala PPATK Ivan Yustiavandana untuk menerangkan secara lebih detail lagi soal transaksi mencurigakan terkait tupoksi Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun. Rencananya, ketiganya akan dihadirkan dalam rapat kerja dengan Komisi III pada Rabu (29/3/) pekan depan.
"Jadi saran teman-teman Komisi III mengundang Bu Menkeu rapat pada tanggal 29 Maret," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni sebagaimana dikutip, Kamis (23/3/2023).
Sahroni mengatakan pihaknya sudah mendapatkan klarifikasi isu tersebut dari Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dalam raker pada Selasa (21/3). Namun, Komisi III DPR perlu mendapatkan keterangan Mahfud MD dan Sri Mulyani serta Ivan Yustiavandana dalam kapasitas mereka sebagai pengurus Komite Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pemberantasan Pencucian Uang (TPPU).
"Jadi tiga tuh, ada Pak Ivan, Bu Menkeu, ada Pak Menko yang tiga-tiganya adalah berstatus Komite Nasional TPPU," tegas Sahroni.
Pada rapat kerja Selasa (21/3), Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dicecar DPR soal transaksi mencurigakan Rp 349 triliun. DPR mempertanyakan jenis tindak pidana dari transaksi mencurigakan tersebut, tindak lanjut dari transaksi mencurigakan tersebut hingga alasan transaksi mencurigakan diungkapkan ke publik.
Dalam penjelasannya, Ivan mengatakan transaksi mencurigakan tersebut merupakan indikasi tindak pidana pencucian uang atau TPPU. Namun, kata Ivan, TPPU tidak otomatis terjadi dan melibatkan pegawai atau pejabat di lingkungan Kemenkeu. Hanya saja, transaksi mencurigakan tersebut terkait tugas dan fungsi pokok Kemenkeu.
"Itu hasil analisis dan pemeriksaan, tentunya TPPU. Jika tidak ada TPPU, tidak akan kami sampaikan," tandas Ivan.
Menurut Ivan, transaksi mencurigakan ini tidak seluruhnya terjadi di Kementerian Keuangan, tetapi terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Keuangan sebagai penyidik tindak pidana asal. Berdasarkan hasil analisis PPATK, kata Ivan, sebagian besar kasus dalam perkara transaksi Rp 349 triliun ini terkait dengan kasus impor-ekspor dan kasus perpajakan.
Sementara dalam rapat tersebut, anggota Komisi III DPR Arteria Dahlan mengingatkan kewenangan seorang pejabat negara merahasiakan dokumen terkait TPPU. Menurut Arteria, jika tidak, pejabat bersangkutan, bisa diancam pidana paling lama 4 tahun penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
"Setiap orang, itu termasuk juga menteri, termasuk juga menko (menteri koordinator) ya, yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya, menurut UU ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut," ujar Arteria Dahlan dalam raker tersebut.
Dalam Pasal 11 ayat (1) UU Pencegahan TPPU disebutkan, pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini.
Pada ayat (2) berbunyi, setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Lalu, ayat (3) menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
"Ini serius. Nanti teman-teman, kita (anggota Komisi III DPR) akan ada sesi berikutnya untuk klarifikasi," kata Arteria.
Red/Brst